INFOGRESIK – Setidaknya perlu ada 3 prespektif dalam mengembangkan Kawasan Bandar Grisse di Jl. Basuki Rahmad Gresik menjadi tempat wisata yang mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPRD Gresik Ahmad Nurhamim usai dialog bersama dua pemateri dari UPT Pengelolaan Cagar Budaya dan Dinas Kebudayaan Yogyakarta di salah satu kafe Kota Yogyakarta, Jumat (17/3/2023).
Turut hadir anggota DPRD Gresik Sholihuddin dan Suberi, Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Gresik Hufan Nur Dhianto, serta Ketua Komunitas Wartawan Gresik (KWG) Miftahul Arif.
“Jika kita belajar dari Jogja, setidaknya ada 3 prespektif yang harus diterapkan, yakni prespektif historis, potensi ekonomi dan managemen,” ujar Nurhamim.
Dia menjelaskan, prespektif historis sangat penting dalam mengangkat potensi kawasan wisata. Untuk itu, perlu ada kajian sejarah terhadap kawasan Bandar Grisse. “Sejarah wilayah ini nanti akan menjadi pembeda dari daerah lainnya,” terangnya.
“Kita tahu Bandar Grisse punya sejarah panjang berkaitan dengan pelabuhan Gresik. Apalagi ada 5 etnis yang ada didalamnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, keberadaan Bandar Grisse di Jalan Basuki Rahmad diyakini bisa mendongkrak pariwisata dan ekonomi. Sehingga tak salah pemerintah pusat menggelontorkan anggaran untuk penataan kawasan.
“Gresik punya kawasan istimewa yang menawarkan integrasi antar etnis di satu lingkungan sehingga bisa dimanfaatkan seperti Kawasan Malioboro,” kata Nurhamim.
Sementara itu, Ketua KWG Miftahul Arif menyampaikan, selain berperan dalam mempromosikan keberhasilan daerah, KWG juga berkomitmen kolaborasi dengan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif.
“Seperti kegiatan kali ini, kami membuat program studi banding yang diharapkan ada manfaatnya untuk pengembangan pariwisata Gresik,” ucapnya.
Miftahul menambahkan, kawasan bandar Grisse yang kebetulan di depan Kantor Balai Wartawan harus dimanfaatkan maksimal untuk menumbuhkan ekonomi sekitar.
“Kami harapkan, nantinya Gresik bisa seperti Malioboro,” ungkap dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti, menambahkan kawasan Malioboro sudah ada sejak lama. Namun, dalam perkembangannya terdapat inovasi dalam pengelolaannya.
“Yang terbaru, kawasan PKL dulunya berada di sekitar trotoar kini kami buatkan tempat khusus dan ada sentranya. Meski awalnya sangat sulit dan ada pro kontra namun kami berhasil melakukan,” ujarnya.
Diungkapkan Yetti, pengelolaan Malioboro di bawah UPT Pengelolaan Cagar Budaya. Unit pelaksana tugas itu mempunyai wewenang dan tanggungjawab penuh.
“Seperti pengaturan PKL, pedagang, pengamen, bahkan soal kebersihan dan keamanan dan pekerja kreatif lainya. Kami terus mengawasi sehingga bisa terkontrol. aktivitas seperti pengamen itu izin ke UPT,” terangnya.
Ke depan, Yetti juga berharap ada kolaborasi yang dilakukan Pemkan Gresik dan Pemkot Yogyakarta. Hal ini penting untuk menghasilkan ide dan gagasan baru dalam membangun pariwisata budaya.
“Tentu kami senang jika bisa kolaborasi bersama, dan kami siap datang ke Gresik untuk sama-sama belajar. Yogyakarta dan Gresik ada kesamaan, semoga ada kesamaan kesana,” pungkasnya.