INFOGRESIK – Pengembangan proyek tol Krian, Legundi, Bunder dan Manyar (KLBM) seksi 4 yang menghubungkan Bunder sampai Manyar bakal dimulai. Akan tetapi, beberapa pemilik lahan melakukan protes lantaran kurang jelasnya site plan.
Hal ini terungkap saat Sidang permohonan penitipan uang (konsinyasi) dari PUPR terkait pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol yang dipimpin hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Gresik, Mochammad Fatkur Rochman, dengan menghadirkan dua termohon Haji Ubet dan Syaiful Arif di PN Gresik.
Kementerian PUPR diwakili oleh Staf PPK tol KLBM Wirahadi, dan Teguh Wibowo serta Hilmi sebagai saksi. Saat itu, Majelis Hakim menyatakan bahwa pihaknya dalam sidang konsinyasi untuk menyampaikan kepada pemohon penitipan uang ganti rugi pembebasan lahan tol KLBM.
“Jadi, PN dalam hal ini menyidangkan penitipan uang ganti rugi pembebasan lahan terkena proyek KLBM. Kalau ada yang keberatan dari pemilik lahan, silakan disampaikan,” kata Fathur saat membuka sidang yang terbuka untuk umum, Senin (9/1/2023).
Sementara itu, H. Saiful Arif, salah satu warga pemilik sebidang tanah di dekat pintu masuk kawasan ekonomi khusus (KEK) Java Integrated Industrial Port and Estate (JIIPE) Manyar dalam sidang mengaku bahwa hingga saat ini dirinya belum tahu letak tanahnya yang akan dilalui proyek tol KLBM.
“Kalaupun ini untuk kepentingan umum pasti saya kasihkan. Tetapi sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang, saya sebagai pemilik tanah perlu tau letak tanah saya yang akan dilalui proyek tol, sebab sampai saat ini kami belum diberitahu petanya,” ujarnya.
Tak bermaksud mempersoalkan ganti rugi, pria yang akrab disapa H. Ipung mempertanyakan hal itu kepada majelis hakim. Sebab, pengusaha ternama di Kabupaten Gresik ini khawatir sebidang tanah yang dilalui proyek nasional tersebut berimbas tertutupnya akses masuk lahan seluas sekitar 15 hektar miliknya.
“15 hektar milik saya yang besarnya mungkin senilai 300-400 miliyar ditutup aksesnya, apakah mereka yang mengatasnamakan kepentingan umum berhak membangun atau bisa membangun sesuai perundang-undangan yang berlaku?,” tegasnya dengan nada bertanya.
Ia tak mempersoalkan lahannya seluas 229 m² dengan harga harga ganti rugi senilai Rp862 juta terkena proyek tol.
“Saya tak mempersoalkan. Tak diberikan ganti rugi tak apa-apa untuk kepentingan umum. Tapi, exit tolnya jangan di titik akses masuk lahan saya, seluas 15 hektare,” tuturnya.
Atas keberatan termohon, Majelis Hakim mempersilakan pemohon, Wirahadi, memberikan tanggapan.
“Kami dalam menjalankan pembesan lahan untuk proyek tol KLBM sudah sesuai perundangan. Seperti Undang-undang Nomor 2 tahun 2012, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” ucap Wirahadi.
Ia menyampaikan, berdasarkan Pasal 42 UU 2/2012 bahwa, penitipan ganti kerugian dilakukan karena pihak yang berhak menerima ganti kerugian menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah.
“Sebenarnya, kami sudah memberikan tenggat waktu 14 hari kepada pemilik lahan sesuai perundangan. Bahkan lebih dari itu. Karena tak ada tanggapan kita serahkan ke pengadilan (konsinyasi). Diterima atau tidak ganti rugi, sesuai UU 2/2012, proyek tetap jalan,” pungkasnya.
Mengenai lahan yang akan digunakan proyek tol, Wirahadi menuturkan bahwa para pemilik tanah bisa melayangkan surat secara resmi ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait akses jalan.
“Para pemilik tanah bisa berkirim surat secara resmi ke PUPR terkait akses jalan, jadi kami masih menerima masukan dari masyarakat,” jelasnya.
Pihaknya memastikan, proses pembebasan lahan antara pemilik sebidang tanah terdampak jalan tol dengan pihak-pihak terkait dilakukan dengan 2 mekanisme, yakni secara langsung dan melalui konsinyasi (penitipan bayar) ganti rugi dititipkan ke Pengadilan Negeri (PN) sesuai aturan yang berlaku.
Sebelumnya, tol KLBM Seksi 1-3 telah selesai dan dioperasikan sejak 28 November 2020 lalu.