INFOGRESIK – Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, tak hanya dikenal sebagai kampung nelayan, tetapi kini juga memiliki daya tarik baru berupa Pasar Segoro.
Kehadiran Pasar Segoro menarik perhatian karena mengusung konsep kembali ke akar budaya. Transaksi di pasar ini tidak menggunakan uang konvensional, melainkan kerang. Satu kerang dihargai setara dua ribu rupiah. Konsep unik ini menjadi ciri khas sekaligus simbol kehidupan nelayan di Desa Campurejo.
Pasar Segoro digelar di area utara kompleks makam desa dan bukan sekadar tempat jual beli. Ia menjadi panggung budaya yang menghadirkan suasana tempo dulu—tanpa plastik, tanpa kebisingan elektronik—hanya suara alat musik tradisional, tawa anak-anak, dan semilir angin laut.
“Alat transaksi di Pasar Segoro ini bukan menggunakan uang biasa, melainkan kerang. Satu kerang nilainya sama dengan dua ribu rupiah,” ujar Khoirul Fatiqin, Ketua Pelaksana Pasar Segoro, Kamis (24/07/2025).
Kerang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga simbol desa, laut, dan kehidupan pesisir. Melalui simbol tersebut, Komunitas Ngayom Jagad selaku penggagas acara ingin menghidupkan kembali semangat gotong royong dan budaya lokal, serta mengedukasi generasi muda tentang nilai-nilai tradisional.
Pasar Segoro terdiri atas tiga rangkaian utama, yakni pasar rakyat, pertunjukan seni, dan pameran instalasi yang berbasis pada kehidupan nelayan.
Salah satu sudut pasar menampilkan replika perahu kayu, jaring-jaring tua, serta artefak kehidupan melaut yang ditata sedemikian rupa, menjadikan ruang publik sebagai galeri terbuka.
Tak kalah memikat, Paguyuban Reog Pantura turut memeriahkan suasana. Anak-anak berlarian di antara lapak makanan tradisional, sementara dari kejauhan terdengar dentuman kendang dan lengkingan suling yang mengiringi tarian barongan di atas tanah berdebu.
“Dengan menghadirkan suasana tempo dulu, bebas plastik, dan menyatu dengan kehidupan warga pesisir, Pasar Segoro menjadi ruang bersama untuk mengenang, merayakan, dan merawat kebudayaan lokal,” tambah Fatiqin.
Pasar Segoro terbuka untuk semua kalangan. Tak hanya warga sekitar, tetapi juga pelaku seni, komunitas kreatif pemuda, pelaku industri kreatif, UMKM, hingga instansi pemerintahan. Semua bersatu dalam semangat menjaga budaya.
“Pasar Segoro ini tidak hanya diselenggarakan satu kali, tetapi akan berlangsung satu hingga dua kali setiap bulan, menyesuaikan dengan kalender Jawa, seperti hari Wage dan Pon,” ujar Fatiqin.
Kepala Desa Campurejo, Amudi, menyambut baik inisiatif anak-anak muda tersebut. Menurutnya, kegiatan ini bukan hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga membuka peluang peningkatan ekonomi bagi warga.
“Kami mengapresiasi pelaksanaan Pasar Segoro ini yang digagas oleh anak-anak muda. Terlebih, kegiatan ini mengangkat kembali kuliner dan budaya lama Campurejo untuk dilestarikan,” ucapnya.
Terkait penggunaan kerang sebagai alat tukar, Amudi menjelaskan bahwa kerang merupakan bagian dari identitas masyarakat Campurejo.
“Daripada kulit kerang tidak dimanfaatkan, kini kami gunakan sebagai alat transaksi yang memiliki nilai simbolis sekaligus fungsional,” jelasnya.
Ia berharap kegiatan ini dapat terus berkembang dan menjadi agenda tetap desa agar manfaatnya semakin dirasakan oleh masyarakat. “Semoga kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan kali ini bisa diperbaiki dan dimaksimalkan pada Pasar Segoro berikutnya,” pungkasnya.
