INFOGRESIK — Dalam ekosistem sosial yang kompleks, di mana kerentanan sering kali menjadi magnet bagi eksploitasi, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Gresik bertindak sebagai penjaga bagi kelompok rentan.
Baru-baru ini, Satreskrim Polres Gresik berhasil membongkar kasus kekerasan seksual yang mengerikan, di mana korbannya N.A.S., seorang perempuan muda berusia 20 tahun yang diidentifikasi sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan orang tua korban asal Kecamatan Ujungpangkah.
Diketahui, korban sering berinteraksi dengan pelaku S (75), yang ironisnya adalah tetangga dekatnya. Pola interaksi yang tampak tidak berbahaya inilah yang kemudian dieksploitasi oleh pelaku.
Pada Selasa, 28 Oktober 2025, di rumah pelaku, tindakan keji tersebut dilakukan. Pelaku, yang mengetahui kondisi kognitif korban — yakni ketidakmampuan untuk melawan atau memahami bahaya situasi — melakukan eksploitasi dengan menawarkan imbalan uang tunai Rp2.000.
Baca juga: Bermain di Masjid, Anak di Bawah Umur di Driyorejo Jadi Korban Asusila
“Pelaku memanfaatkan kerentanan korban sebagai ABK yang dianggap tidak mampu melawan,” ujar Kapolres Gresik AKBP Rovan Richard Mahenu melalui Kasatreskrim Polres Gresik, AKP Abid Uais Al-Qarni Aziz, Selasa (18/11/2025).
Saat kejadian, orang tua korban melihat N.A.S. baru keluar dari rumah pelaku, sehingga memicu kecurigaan yang mengarah pada terbongkarnya kasus ini.
Dipimpin Kanit PPA Satreskrim, Ipda Hendri Hadiwoso, tim investigasi mengumpulkan bukti termasuk pakaian korban (kaus abu-abu, rok biru, dan sandal merah) dari TKP. Proses ini berujung pada penangkapan S (75) pada Jumat, 14 November 2025, di sebuah kedai kopi di Ujungpangkah.
Tersangka kini menghadapi jeratan Pasal 6C Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp300 juta menegaskan bahwa masyarakat tidak mentoleransi eksploitasi terhadap kelompok rentan.
Polres Gresik menyerukan intervensi komunitas yang lebih luas, berupa edukasi terkait peningkatan pengawasan orang tua terhadap individu ABK, pemahaman batasan tubuh, hak menolak sentuhan tidak pantas, serta kewaspadaan terhadap perubahan perilaku seperti ketakutan, penarikan diri, atau perubahan emosi.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap kelompok rentan membutuhkan kewaspadaan kolektif dan respons yang tegas.
